Selasa, 02 November 2010

INA-DRG sebagai solusi pelayanan rumah sakit yang lebih baik


       Berawal dari sebuah cerita rekan saya, yang menceritakan tentang pengalaman berobat pamannya yang membuatnya untuk takut berobat lagi ke rumah sakit. Cerita ini dimulai ketika paman rekan saya, sebutlah Bapak A mengeluh sakit kepala dan leher terasa tegang disertai mual ,serta pandangan kabur. Bapak A datang ke rumah sakit berlabel “taraf internasional” di Tangerang. Bapak A adalah seorang pedagang kue, 60 tahun yang berpenampilan berkecupupan saat datang ke bagian emergency rumah sakit tersebut. Setelah dokter yang di bagian emergency tersebut anamnesis secara cepat, dokter langsung menganjurkan Bapak A untuk dirawat inap di rumah sakit tersebut. Selama perawatan di rumah sakit, Bapak A dilakukan pemeriksaan super komplit, mulai dari pemeriksaan darah rutin dan kimia darah lengkap dengan biaya yang hampir mencapai 2 juta. Kemudian dilanjutkan foto thorax, foto kepala segala posisi, CT scan kepala dengan kontras, MRI mulai dari perut sampai kepala, foto leher segala posisi, EEG, dan elektromyografi otot-otot leher. Total dari biaya pemeriksaan tersebut mencapai 25 juta rupiah.
       Selama perawatan tersebut, Bapak A dipasang iv line dan terpaksa harus rawat inap di ruang VIP, karena pihak rumah sakit melaporkan bahwa ruang kelas standard sudah penuh. Setelah perawatan selama 1 minggu penuh, total pengeluaran Bapak A mencapai kurang lebih 120 juta rupiah, yang meliputi biaya perawatan inap selama 1 minggu, honor 3 dokter spesialis dan biaya administrasi yang dihitung 10% dari total biaya.
       Setelah menyadari bahwa total biaya rumah sakit tersebut mencapai angka yang sangat tinggi, Bapak A meminta pulang dan untuk terakhir kalinya berkonsul dengan dokter menanyakan diagnosis penyakitnya. Dokter tersebut kemudian memberikan surat kontrol dengan diagnosa perawatan tension type headache. Waw, hanya tension type headache saja Bapak A harus mengeluarkan biaya 125 juta rupiah. Padahal, kalau bapak A ini mengetahui penyakitnya terlebih dahulu, obat dapat dibeli di apotek hanya dengan harga 10 ribu rupiah saja. Belum lagi dalam beberapa bulan Bapak A harus mencicil angsuran biaya rumah sakit plus bunga, karena tiap bulan Bapak A harus berhadapan dengan debt collector rumah sakit dan telepon teror dari rumah sakit apabila telat membayar. Sungguh peristiwa yang sangat menyedihkan, sekaligus memalukan bagi dunia kesehatan di Indonesia.
       Biaya pelayanan kesehatan saat ini sangat mahal dan banyak perbedaan antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya dengan kualitas dan jenis pelayanan yang sama. Lemahnya sistem pengelolaan keuangan khususnya Rumah Sakit Pemerintah milik Depkes atau Pemda, sementara persaingan rumah sakit terus meningkat dari segi tehnologi maupun sumber daya menimbulkan kecenderungan Rumah Sakit untuk membeli alat canggih untuk memudahkan diagnosis, hal ini akan menyebabkan meningkatkan pembiayaan yang harus di keluarkan oleh pasien dalam menerima pelayanan yang di berikan, karena pembiayaan alat tersebut akan di bebankan kepada pasien. Untuk menghindari kejadian ini sebaiknya perlu diterapkan sistem pembiayaan bagi masyarakat dengan program pengendalian biaya kesehatan.
        Pembiayaan kesehatan berbasis kelompok diagnosis terkait (Diagnosis Related Group / DRG) merupakan suatu sistem pemberian imbalan jasa pelayanan yang di tetapkan berdasarkan pengelompokan diagnosa, tanpa memperhatikan jumlah tindakan / pelayanan yang di berikan, dengan tujuan sebagai upaya pengendalian biaya dan menjaga mutu pelayanan.
        Pada system pembayaran DRG, pasien akan mengetahui tarif perawatannya sebelum dilakukan perawatan, sehingga bila biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit lebih kecil dari tarif yang telah disepakati maka selisih nya merupakan keuntungan bagi rumah sakit, tetapi bila biaya yang dikeluarkan rumah sakit lebih besar daripada tarif yang telah disepakati maka selisihnya merupakan kerugian bagi rumah sakit. System DRG ini juga memicu dokter-dokter rumah sakit agar tepat dan efektif dalam menentukan diagnosa, serta dengan meminimalkan tindakan-tindakan medis yang memang tidak diperlukan.
        
       Di Indonesia, sistem ini dikenal sebagai INA-DRG yang mulai dikenalkan pada tahun 2005 melalui SK MENKES No.1663/MENKES/SK/XII/2005 tentang Uji coba penerapan Sistem Diagnostic Related Group (DRG) Case-Mix di 15 Rumah Sakit di Indonesia. Sistem ini disusun berdasarkan data dari 15 rumah sakit, yang telah menghasilkan 23 MDC (Major Diagnostic Categories), 1.077 kode INA-DRG beserta tarifnya yang terbagi dalam 789 kode untuk rawat inap dan 288 untuk rawat jalan. Sistem pembiayaan ini terdiri dari 3 komponen utama yakni kodefikasi diagnosis (ICD 10) dan prosedur tindakan (ICD 9 CM), pembiayaan (costing) yang dapat berupa top-down approach, activity based costing dan atau kombinasi keduanya, dan clinical pathways. Clinical pathways sendiri adalah konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan pada pasien berdasar standar pelayanan medis.
         Sistem INA-DRG ini mulai diimplementasikan pada tahun 2008, berdasarkan SK Menkes nomor 125/MENKES/SK/II/2008, bahwa pelaksanaan INA-DRG di Rumah Sakit vertical Depkes RI dimulai pada 1 September 2008 dan untuk Rumah Sakit daerah dimulai pada 1 Januari 2009.
         Keuntungan system INA-DRG ini cukup banyak, namun pelaksanaan INA-DRG belum bisa dikatakan efektif. Masih banyak rumah sakit yang belum mengimplementasikan system ini, bahkan menurut evaluasi yang dilakukan oleh Bina Pelayanan Medik ,baru 16 rumah sakit yang sudah siap dan melaksanakan INA-DRG, sementara itu untuk rumah sakit daerah masih banyak kendala, diantaranya mengenai aktifasi software INA-DRG.
Menurut penelitian yang dilakukan di Semarang, INA-DRG belum bisa diterapkan dengan efektif di Semarang karena masih banyaknya faktor penghambat seperti belum terkoordinir pembuatan clinical pathway sebagai tonggak implementaassi INA DRG, belum adanya software di rekam medis dan keuangan, belum adanya Tim INA DRG maupun Tim dalam pembuatan clinical pathway. Disimpulkan pula dalam penelitian tersebut bahwa, upaya persiapan sumber daya manusia di RSUD Kota Semarang belum dapat menerima perubahan dalam menghadapi Implementasi INA DRG.
Lalu, bagaimana kondisi INA-DRG di Yogyakarta? Apakah sudah dilaksanakan dengan efektif? Tentu pasti masih banyak kendala. Saya berharap INA-DRG dapat tersosialisasikan dengan lebih luas dan dapat diimplementasikan dengan efektif, sehingga masyarakat makin sadar dan mau untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan tanpa merasa takut terbebani biaya. Harapan yang tak kalah pentingnya, INA-DRG dapat membantu masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, sehingga kualitas hidup meningkat, dan visi INDONESIA SEHAT 2010 dapat menjadi suatu kenyataan.